Banjir bercampur lumpur melanda sejumlah kecamatan di Kabupaten Bima, Kota Bima, Kabupaten Dompu dan Kabupaten Sumbawa. Pada empat daerah ini, alihfungsi lahan untuk perladangan Jagung begitu agresif. Belum sempat menuai hasil, masyarakat justeru mulai memanen bencana.
Tahun 2017, ada 198 ton benih jagung dengan berbagai varietas yang disebar di NTB, terkonsentrasi di Pulau Sumbawa. Pengadaan bibit dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (Distan TPH) sebelum nomenklatur instansi diubah menjadi Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTB.
Tahun 2018, pengadaan berlanjut dari instansi yang sama. Kali ini sejumlah 112 ton, kembali disebar di Pulau Sumbawa.
Sebelum jadi masalah pada lingkungan, pengadaan ini sudah menuai sorotan dan berlanjut ke proses hukum. Tahun 2017, bibit tidak sesuai usulan petani jenis Bisi 18. Sama dengan tahun 2018, usulan varietas HJ 21 namun yang tiba jenis JH 27 dengan persentase tumbuh kurang dari 10 persen.
Pengadaan bibit ini disambut antusias petani, karena sebelumnya sudah melalui usulan kelompok yang dibentuk, diawali dengan SK Calon Petani Calon Lokasi (CPCL).
Tidak perlu teori dan riset panjang lebar untuk menarik benang merah penyebab banjir dan hubungannya dengan penggundulan hutan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sumbawa akhir Desember sudah mengidentifikasi, banjir lumpur yang mulai menerjang sejumlah titik, dipicu lahan yang kritis.
Sebagaimana kejadian di Desa Labuan Kuris, Kecamatan Lape. Berawal dari hujan deras. Kawasan itu merupakan dataran rendah yang dikelilingi bukit bukit gundul. ‘’Kami identifikasi, penyebab banjir adalah gundulnya hutan pegunungan yang dijadikan sebagai tempat lahan jagung,’’ kata Kepala Pelaksana BPBD Sumbawa, Ir. A. Rahim.
Air bah selain membawa lumpur, juga material lain seperti ranting-ranting pohon sisa kayu gunung yang ditebang untuk perluasan ladang. Kondisi ini memicu kurangnya fungsi tumbuhan untuk resapan air, sehingga ketika hujan datang, meluncur deras ke daerah lebih rendah membawa lumpur dari permukaan tanah.
Menurutnya, kejadian jadi langganan setiap tahun, seiring semakin aktifnya kegiatan penanam jagung di lereng gunung. Banjir lumpur juga sebelumnya terjadi jalan lintas Sumbawa – Dompu, sekitar Desa Luk Kecamatan Utan. Permukaan jalan negara itu tergenang banjir yang membawa material kayu dan lumpur.
Hutan Mulai Digerogoti
Menurut data KPH Brang Beh, kawasan hutan yang tercatat seluas 58 ribu hektare. Dari jumlah tersebut, yang sudah alihfungsi untuk penanaman jagung sekitar 4.000 hektar atau sekitar 7,3 persen.
Perambahan hutan untuk penanaman jagung, juga terjadi di wilayah KPH Batulanteh. Luas kawasan hutan KPH setempat lebih kurang 32 ribu hektar meliputi lima kecamatan. Seperti Batulanteh, Moyo Hilir, Moyo Utara, Moyo Hulu, dan sebagian Rhee. Luas kawasan yang dirambah di wilayah setempat sekitar 5 persen.
Banjir Campur Lumpur
Penggundulan bukit yang mengelilingi Kota Bima, diduga Kepala BPBD Kota Bima, Ir. Sarafuddin MM menjadi penyebab banjir bercampur lumpur.
Teori hutan gundul dan tidak bisa menahan laju air hujan yang sangat deras terjadi di daerahnya. Air bah yang tidak meresap langsung mengalir meluap ke jalan raya dan masuk ke pemukiman warga.
Seperti luapan banjir bercampur lumpur menggenangi jalan di Kelurahan Panggi, Kelurahan Sambinae dan jalan raya depan PLTD Niu Kelurahan Dara.
Begitu juga di Kabupaten Bima. Banjir bercampur lumpur menggenangi puluhan rumah warga Desa Ragi Kecamatan Palibelo. Pada bulan yang sama, banjir lumpur juga melanda kecamatan ini tahun 2018 lalu.
Air sungai meluap ke jalan raya dan rumah warga dengan membawa tumpukkan sampah berupa kayu, bebatuan dan lumpur.
Kasubid Penanganan Darurat BPBD Kabupaten Bima, Bambang Hermawan S.Kom MM, mengaku kawasan itu dikitari perbukitan yang sudah digerus untuk menanam Jagung.
Kabupaten Dompu, daerah yang dianggap paling sukses mengembangkan program Pijar, akronim dari Padi, Jagung dan Rumput Laut. Komoditi unggulannya adalah Jagung.
Akhir Desember 2019 hingga Januari 2020, daerah ini mulai akrab dengan bencana. Data BPBD Kabupaten Dompu, banjir lumpur dan tanah longsor jadi peristiwa sekaligus ancaman berlanjut.
Titik rawan terjadi bencana banjir seperti, di Kecamatan Dompu : Kelurahan Bada, Bali Satu, Karijawa dan Kelurahan Potu. Kecamatan Woja : Kelurahan Simpasai, Kandai Dua, Desa Wawonduru, Kelurahan Monta Baru, Desa Matua, Desa Bara dan Desa Madaparama.
Sedangkan di Kecamatan Pajo : Desa Jambu, Lune dan Ranggo. Kecamatan Hu’u Desa Daha dan Desa Sawe. Kecamatan Kempo: Desa Kempo, Ta’a, Soro, Tolokalo dan Desa Songgajah. Kecamatan Kilo: Desa Krama, Mbuju dan Desa Lasi. Kecamatan Pekat: Desa Calabai dan Kecamatan Manggelewa Desa Napa.
“Lokasi terparah terjadi banjir, yakni Kelurahan Bada, Bali Satu, Karijawa, Kelurahan Kandai Dua dan beberapa lokasi yang sangat dekat dengan bantaran sungai,” kata Kepala Pelaksana BPBD Dompu, Imran M. Hasan.
Biangnya tidak lain penggundulan bukit dan hutan untuk alihfungsi lahan. Ancaman lain adalah longsor, rawan terjadi di Desa Napa, Desa Nanga tumpu, Desa Jambu dan Kelurahan Kandai Satu.
Hutan Babak Belur
World Wide Fund for Nature (WWF) mengkritisi pola pengawasan dan pengelolaan hutan di NTB yang masih kebobolan. Hutan NTB disebut sudah babak belur.
“Menurut saya, sekarang moratorium perizinan untuk Perhutanan sosial, untuk izin apapun. Baru setelah itu, atur regulasi dan mekanismenya agar lebih tertib,” kata Direktur WWF Ridha Hakim.
Dari lahan yang sudah gundul itu, sebagian besar ada di Pulau Sumbawa dan beralih fungsi jadi lahan jagung. Masyarakat membabat hutan yang seharusnya bisa dikelola dengan beberapa skema kerjasama dengan pemerintah, namun dibabat untuk persiapan menanam jagung.
“Memang sebagian besar sudah beralih fungsi untuk Jagung,” ujarnya.
Diantaranya 90.000 hektar kawasan perhutanan sosial rusak. Seharusnya dikelola dengan tiga skema, yakni Hutan Kemasyarakatan (HKm), hutan kemitraan dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), sesuai kondisi di lapangan.
“Semua kebijakan perhutanan sosial sekarang ini di area yang sudah dirambah. Kami tidak merekomendasikan pembukaan izin perhutanan sosial yang baru,” tegasnya.
Menurut Ridha, sudah saatnya pemerintah melalui Gubernur dan Bupati mengambil langkah berani untuk mengantisipasi laju kerusakan hutan, salah satunya dengan skema perhutanan sosial.
Langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah pemetaan kawasan dirambah untuk tanaman jagung. Setelah itu pendataan masyarakat yang merambah. Ia sendiri mengaku prihatin, karena sejauh ini Pemda belum punya data detail kawasan yang sudah dirambah. Tapi saatnya dilakukan pendataan.